Laman

Jumat, 15 Juli 2016

Makalah Perkembangan Afektif/Sosio Emosi Pada Masa Remaja (Perkembangan Peserta Didik)



MAKALAH PERKEMBANGAN AFEKTIF/SOSIO EMOSI
PADA MASA REMAJA 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Benjamin S. Bloom pada tahun 1956, menyimpulkan tentang tujuan pendidikan yang dibagi dalam tiga domain, yakni:
1)    Cognitive Domain (Ranah Kognitif)
Berkaitan dengan perilaku-perilaku yang menekankan intelektual seperti pengetahuan, pengertian dan keterampilan berfikir.
2)    Affective Domain (Ranah Efektif)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi sepertiminat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuan seseorang yang baik atau buruk.
3)    Physichomotor Domain (Ranah Psikomotor)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik,seperti tulisan tangan, mengetik, berenang dan mengoperasikan mesin.
Sedangkan, menurut Tokoh Pendidikan yang sangat bersejarah di Indonesiayakni Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan Beliau sebut dengan Cipta, Rasa,dan Karsa atau biasa juga disebut penalaran, penghayatan, dan pengamatan. Jenis-jenis perubahan ada 4 yakni perubahan dalam ukuran, dalam perbandingan, dalam bentuk hilang dan perubahan dalam hal yang baru.Perubahan dalam hal yang baru mencakup bagaimana seorang manusia dalam pencarian jati diri. Dalam perubahan ini terjadi pada masa remaja seseorang. Dan tiga ranah atau domain dari tujuan pendidikan diatas jika dihubungkan dalam perkembangan seorang manusia apalagi pada masa remaja dalam mencari jati dirisangatlah penting untuk diketahui. Maka, dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan emosi dan perkembangan nilai, moral, dan sikap seorang remaja yang dirangkum dengan judul “Perkembangan Afektif/Sosio Emosional Pada Masa Remaja”.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana perkembangan afektif / sosio emosional pada remaja?
  2. Bagaimana perkembangang nilai, moral dan sikap pada remaja?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai, adalah :
  1. Mengetahui bagaimana perkembangan afektif / sosio emosional pada remaja.
  2. Mengetahui bagaimana perkembangan nilai, moral dan sikap pada remaja.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERKEMBANGAN AFEKTIF/SOSIO EMOSI
PADA MASA REMAJA

2.1    Perkembangan Emosi
Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosional seseorang. Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, dimana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginannya terpenuhi dan yang minat-minatnya tercapai dengan berhasil cenderung emosinya stabil dan menikmati hidup. Tetapi jika dorongan dan keinginannya tidak terpenuhi baik karena kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang, pengalaman-pengalaman emosionalnya kemungkinan akan mengalami gangguan.
Banyak respon individu diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan objektif, namun ada saat di dalam kehidupan dorongan-dorongan emosional hampir sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Karena itu untuk memahami remaja, bukan hanya perlu mengetahui apa yang ia kerjakan dan pikirkan, tetapi hal yang lebih penting adalah mengetahui apa yang mereka rasakan. Makin banyak usaha untuk memahami dunia remaja seperti apa yang mereka alami, makin perlu dilihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-perasaan dirinya dan orang lain, kemarahan-kemarahan dan ketakutan-ketakutan mereka, kebanggaan dan rasa malu, kecintaan dan kebencian, harapan-harapan dan keputusasaan. Secara rinci, berbagai hal yang terkait dengan emosi diuraikan berikut ini:
2.1.1        Pengertian Emosi
Emosi merupakan warna afektif yang terasa kuat, perasaan yang lebih mendalam dan lebih terarah. Warna afektif itu sendiri adalah perasaan senang atau tidak senang yang terlalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan tegas. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi, contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi.
Dapat disimpulkan bahwa emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa:
1.    Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
2.    Peradaran darah: bertambah cepat bila marah
3.    Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
4.    Pernafasan: bernapas panjang kalau kecewa
5.    Pupil mata membesar bila marah
6.    Liur: mongering kalau takut atau tegang
7.    Bulu roma: berdiri kalau takut
8.    Pencernaan: diare kalau tegang
9.    Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor)
10.                        Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
2.1.2        Karakteristik Perkembangan Emosi Pada Remaja
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun benar juga jelas sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu kewaktu sebagai konskuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kana-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta atau kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih. Perbedaanya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Berikut akan dibahas tentang kondisi emosional seperti:
a.    Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Tampaknya tidak ada manusia, termasuk remaja, yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting. Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b.    Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman menyenangkan yang dialami selama remaja. Jika kita menghitung hal-hal yang menyenangkan tersebut, kita akan mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang terjadi dalam perkembangan emosional remaja. Dan rasa gembira itu akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik.
c.    Kemarahan dan Permusuhan
Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjol dalam perkembangan kepribadian. Pertama, diantara emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa perubahan sehubungan dengan pertumbuhan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional. Banyaknya hambatan yang menyebabkan remaja kehilangan kendali terhadap rasa marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah tersebut terus akan berkelanjut pemunculannya apabila minat-minatnya, rencana-rencananya dan tindakan-tindakanya dirintangi.
d.   Ketakutan dan Kecemasan
Semua remaja sedikit banyak takut terhadap waktu. Beberapa di antara mereka merasa takut hanya pada kejadian-kejadian bila mereka dalam bahaya. Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang timbul dari persoalan-persoalan kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1.      Pada usia ini seorang anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
2.      Siswa mungkin  berlaku kasar untuk menutupi rasa percaya dirinya.
3.      Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi.
4.      Seorang remaja tidak bisa toleran terhadap orang lain dan merasa selalu benar yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
5.      Siswa-siswi di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap sreba tahu.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun :
1.    Pemberontakan.
2.    Banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka karena bertambah kebebasan mereka.
3.    Pada usia ini seorang remaja sering melamun, memikirkan masa depan mereka.
2.1.3        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan sosial mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266). Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
        Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain :
1.    Belajar dengan coba-coba.
     Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2.    Belajar dengan cara meniru
     Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3.    Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
     Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4.    Belajar melalui pengkondisian
     Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
5.     Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
        Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti adanya pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional.
Jika kita ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang disembunyikan. Jadi emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung atau tertutup bagi yang disembunyikan, seperti contoh orang yang merasa ketakutan tetapi menunjukkan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.
Remaja diberi tahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukkan perasan-perasaanya. Sebagai seorang anak ia tidak boleh menangis, sehingga waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang menangis walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin menangis andai kata ada keberanian untuk menunjukkan perasaan-perasaanya.
Sejak ia kanak-kanak, para-remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka juga diberi tahu untuk tadak penakut, untuk tidak menunjukkan ketakutan-ketakutan mereka. Akhirnya seringkali mereka takut tetapi tidak berani menunjukkanperasaan tersebut secra terang-terangan. Adalah hal yang bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan perasaan yang disembunyikannya.
Semua remaja pada masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada seorangpun yang hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka tahu bahwa ada bahasa yang menunjukkan kemarahan secara terbuka, dan kepada remaja diajarkan bahwa tidak hanya sekadar menyembunyikan kemarahan mereka tetapi perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Demikian juga, kebanyakan remaja telah mengalami bagaimana rasanya dicintai dan mencintai, tetapi banyak di antara mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan tersebut.
Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan perasaan-perasaanya. Mereka tidak hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi pada derajat tertentu bahkan ia dapat kehilangan dan bahkan tidak merasakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya, bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut, atau ia betul-betul tidak tahu dengan apa yang dirasakannya. Kenyataanya bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka.
Banyak kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya dengan orang lain yang membawa perubahan-perubahan untuk menyatakan emosi-emosinya ketika ia merasa remaja.
Orang tua dan guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini tidaklah berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan anak muda. Ia tetap membutuhkan perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosional.ia pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.
2.1.4        Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat/mengganggu pencernaan.
Diantara rangsangan yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang kronis, kegembiraan yang berlebihan, kecemasan-kecemasan, dan kekuatiran-kekuatiran. Semua ini menyebabkan menurunnya kegiatan sistem pencernaan. Satu-satunya cara penyembuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab dari ketegangan emosi.
Keadaan emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan. Seseorang yang tidak mudah terganggu emosinya cenderung mempunyai pencernaan yang baik. Gangguan emosi juga menyebabkan kesulitan berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseoarang gagap. Seorang gagap seringkali relatif dapat normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang.
Sikap-sikap takut, malu-malu atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi atau frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau situasi-situasi tertentu. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor  afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak akan belajar lebih efektif apabila ia termotivasi, motivasi untuk belajar akan membuat individu dalam memusatkan perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa belajar.
2.1.5        Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah terlihat saat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda. Perbedaan itu sebagaian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat dikalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum terdapat dikalangan kelurga kecil.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi.
2.1.6        Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri. Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut sekecil-kecilnya, misalnya dengan jalan kebijaksanaan atau kelembutan, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa juga tidak reda, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembangkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras yang mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya. Reaksi yang sering kali terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Guru-guru di SMA terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan dan mengangkat kepermukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa.
Bertambahnya kebebasan dari remaja sepertimenambah “bahan bakar terhadap api”, bila banyak dari keinginan- keinginannya langsung dihambat oleh guru-guru dan orang tua. Satu cara untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan-perasaan mereka yang negatif. Meskipun penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi remaja untuk belajar mengontrol dirinya, karena hidup di masyarakat adalah juga menghargai keterbatasan-keterbatasan, kebebasan individual. Untuk menunjukkan kematangan mereka, para remaja pertama laki-laki seringkali merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagai seorang guru di SMA, seseorang ada dalam posisi otoritas, dan karena itu mungkin gurulah yang merupakan target dari pemberontakan dan rasa permusuhan mereka. Tampaknya cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti mereka dan kedua, melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil atau mempunyai prestasi dalam bidang yang diajarkan. Satu cara untuk membuktikan kedewasaan seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu. Jika guru menyadari sebagai seorang yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan dalam kelas dapat agak dikurangi. Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang tua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya memperluas atau memperbesar jurang antara dia dengan orang tuanya. Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia pribadinya, kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk bersikap seperti pendengar yang simpatik. Siswa sekolah menengah atas banyak memikirkan hal-hal yang laindari pada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orang tua danapa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah, semua ini mengisi pikiran-pikirannya. Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu “memimpikan kejayaan”. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorongsiswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan, walaupunmungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini malahmenambah kesengsaraan dalam hidupnya.
Barangkali penyelesaian yang paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun tetapmengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan tujuan-tujuan pengganti mungkin merupakan cara untuk membuat ambisi-ambisinya lebih realistik dan mudah mengatasinya apabila ada kegagalan. Kebanyakan para siswa di sekolah menengah atas menginginkan menjadi pegawai negeri atau pegawai kantor meskipun kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang mencapai tujuan tersebut. Apabila ia menganggap remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti bahwa anak-anak muda yang memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai kebanggaan terhadap apa yang mereka kerjakan. Para guru hendaknya dapat memberikan keyakinan kepada sisiwa bahwa semua pekerjaan adalah bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab, hati-hati serta terampil. Jadi terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan, dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadikebiasaan yang tertanam kuat.
2.2    Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap
Dapatkah nilai-nilai hidup dipelajari? Kalau dapat dipelajari sebagai satu ilmu sebagai pengetahuan, apakah pengetahuan tentang nilai-nilai hidup itu dapat seketika membuat orang mau dan mampu bertingkah laku sesuai dengan apa yangdiketahuinya? Antara pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi positif yang tinggi (Surakhmad, 1980). Proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan menuju bentuk sikap dan tingkah laku aalah proses kejiwaan yang musykil. Seorang individu yang pada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyatamelakukannya tidak selalu karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Didalamnya tercakup juga sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi, kecuali secara tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut, bahkan secara tidak langsung pun ada kalanya cukup sulit untuk menari kesimpulan yang teliti. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
2.2.1        Pengertian dan Keterkaitan antara Nilai, Moral, dan Sikap serta Pengaruhnya terhadap Tingkah Laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988). Sopan santun, adat dan kebiasaan serta nilai-nilai kehidupan yang lain, lahir tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar manusia. Nilai-nilai lain misalnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga Negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara. Apakah ia seorang petani atau ahli ruang angkasa, apakah ia pria atau wanita, apakah ia pemimpin dalam pemerintahan atau kah ia warga negara biasa, apakah ia beragama Islam atau beragama lainnya. Sebagai warga Negara Indonesia ia harus berpedoman pada nilai-nilai tersebut, demikian halnya para remaja. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang termasuk dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain:
a.    Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan persamaan kewajibanantar sesame manusia
b.    Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c.    Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dankeadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tenggang baik buruk, perbuatan dan kelakuan,akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengankemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah. Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini aliran Psikoanalisa tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarwono, 1991).
Semua konsep itu menurut Freud menyatudalam konsepnya tentang super ego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku egosehingga tidak bertentangan dengan masyarakat. Sedangkan menurut Gerungan (Mappiare, 1982) sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seorang. Dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Dengan demikian keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkahlaku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.

2.2.2        Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja 
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai peri kemanusiaan dan peri keadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual, dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja. Sejauh mana remaja mengamalkan nilai-nilai yang telahmenginformasikan atau dicontohkan kepada mereka. Untuk keperluan ini perlu ditinjau perkembangan moral remaja. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial atau masyarakat tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harusdilakukan oleh remaja (Hurlock, 1980) sebagai berikut:
a.    Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak. 
b.    Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apayang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
c.     Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d.   Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e.    Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dalam arti bahwa penilaianmoral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (Monks, 1984), kehidupan moral merupakan problematik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting. Kohlberg dalam penyelidikannya mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutantertentu.
Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat pertama, prakonvensional, tingkat kedua, konvensional; dan tingkatketiga, poscakonvensional. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap,sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang mencapai tahapterakhir perkembangan moral.
a.       Tingkat I: PrakonvensionalPada stadium pertama
-       Anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman.
-       Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yangtidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperolehhukuman.
-       Pada stadium kedua berlaku prinsip relatisvik-hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atauditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi ada kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan mencuri untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan mencuri itu sendiri diketahuisebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
b.              Tingkat II: Konvensional
-       Stadium tiga, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadiumini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkanorientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau buruk oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atautidak. Menjadi anak yang manis masih sangat penting dalam stadium ini.
-       Stadium empat, yaitu tahap menpertahankan norma-norma social danotoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanyaagar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapatikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
c.       Tingkat III: Pascakonvensial
-       Stadium lima, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinyadengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbale balik antaradirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus   memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosialkarena sebaliknya lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
-       Stadium enam, disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antaraseseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang denngan orang lain. Dalam hal ini unsur etik akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya . Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja. Menurut Furter ( Monks 1984 ), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian melainkan juga dapat menjalankannya atau  mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginttenalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasikan nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dam tingkah lakunya.
2.2.3                     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi  Perkembangan Nilai , Moral dan Sikap
Sama seperti perkembangan lainnya , maka perkembangan nilai, moraldan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisai atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak ( Gunarsa , 1990 ).
Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh peerkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaraan sesseorang menurut tahap-tahap perkembangan piaget makin tinggi pula tingkat moral seseorang .
2.2.4        Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Pengertian moral dan nilai pada anak-anak umur sepuluh tahun atau sebelas tahun berbeda dengan anak-anak yang lebih tua. Pada anak-anak terdapatanggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak, oleh karena itu diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi ( Kohlberg, 1963 ). Menurut Kohlberg faktor kebudayaan mempengaruhi perkembanganmoral, Terdapat berbagai rangsangan yang diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo perkembangan moral.
Bukan mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap perkembangan dicapai, melainkan juga mengenai batastahap-tahap yang dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
2.2.5        Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai moral dan sikap tidak terjadi dengen sendirinya, proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nili-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya difahami oleh para ahli ( Surakhmad, 1980). Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yangdiharapkan, maka kita didhapkan dengan masalah pembinaan,Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan nilai , moral dan sikap remaja adalah :
a.         Menciptakan komunikasi
b.        Menciptakan iklim lingkungan yang serasi


BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
a.       Afektif  adalah Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan danemosi seperti minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuanseseorang yang baik atau buruk.
b.      Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan- perubahan tubuh. Jenis emosi yang secara normal dialami antara laliln: cinta,gembira, marah, takut, cemas dan sedih.
c.       Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain kematangan dankondisi-kondisi kehidupan atau kultur.
d.      Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakatatau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Sedangkan moral adalahajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan. Sikap adalahkesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal.
e.       Tingkat perkembangan pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja.Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang tidak hanya memperoleh pengertian saja namun juga dapat menjalankannya.
f.       Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moraldan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi disamping member informasi dan remaja diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi/kondusif.
3.2       Saran
Menjadi seorang remaja dalam masa pencarian jati diri tetap harus memahami konsep ranah afektif yang akan mempengaruhi kehidupannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Sehingga harapannya akan kehidupan yang lebih baik dan menjadi seorang yang peka terhadap sosial dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKABottom of FormPERKEMBANGAN AFEKTIF REMAJADownload or PrintAdd To Collection
4.2K
Reads
14
Readcasts
0
Embed Views
This is a private document.
Hurlock, E.B.1990. Psikologi Perkembangan. Alih Bahasa Isawidayanti dan
Soedijarwoe. Jakarta: Erlangga.
Sunarto, H. Hartono B. Agung.2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
Rineka Cipta.
Wikipedia. 2012.. Taksonomi Bloom, (online)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom), diakses tanggal 07 September 2012
Wanda, Ila Rezki. 2012. Perkembangan Sosio-Emosional Pada Remaja, (online)
(Ilarezkiwanda.blogspot.com), diakses tanggal 07 September 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar