MAKALAH PERKEMBANGAN AFEKTIF/SOSIO EMOSI
PADA MASA REMAJA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Benjamin
S. Bloom pada tahun 1956, menyimpulkan tentang tujuan pendidikan yang
dibagi dalam tiga domain, yakni:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif)
Berkaitan dengan perilaku-perilaku
yang menekankan intelektual seperti pengetahuan, pengertian dan
keterampilan berfikir.
2) Affective Domain (Ranah Efektif)
Berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi sepertiminat, sikap, apresiasi dan cara
penyesuaian diri. Kelakuan seseorang yang baik atau buruk.
3) Physichomotor Domain (Ranah
Psikomotor)
Berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik,seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang dan mengoperasikan mesin.
Sedangkan,
menurut Tokoh Pendidikan yang sangat bersejarah di Indonesiayakni Ki Hajar
Dewantara, tujuan pendidikan Beliau sebut dengan Cipta, Rasa,dan Karsa atau
biasa juga disebut penalaran, penghayatan, dan pengamatan. Jenis-jenis
perubahan ada 4 yakni perubahan dalam ukuran, dalam perbandingan, dalam
bentuk hilang dan perubahan dalam hal yang baru.Perubahan dalam hal yang baru
mencakup bagaimana seorang manusia dalam pencarian jati diri. Dalam
perubahan ini terjadi pada masa remaja seseorang. Dan tiga ranah atau domain
dari tujuan pendidikan diatas jika dihubungkan dalam perkembangan seorang
manusia apalagi pada masa remaja dalam mencari jati dirisangatlah penting untuk
diketahui. Maka, dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan emosi dan
perkembangan nilai, moral, dan sikap seorang remaja yang dirangkum dengan judul
“Perkembangan Afektif/Sosio Emosional Pada
Masa Remaja”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan masalah
sebagai berikut :
- Bagaimana perkembangan afektif / sosio emosional pada remaja?
- Bagaimana perkembangang nilai, moral dan sikap pada remaja?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
penelitian yang ingin dicapai, adalah :
- Mengetahui bagaimana perkembangan afektif / sosio emosional pada remaja.
- Mengetahui bagaimana perkembangan nilai, moral dan sikap pada remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERKEMBANGAN AFEKTIF/SOSIO EMOSI
PADA MASA REMAJA
2.1
Perkembangan
Emosi
Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat terpenuhi
merupakan dasar dari pengalaman emosional seseorang. Seseorang yang pola
kehidupannya berlangsung mulus, dimana dorongan-dorongan dan
keinginan-keinginannya terpenuhi dan yang minat-minatnya tercapai dengan
berhasil cenderung emosinya stabil dan menikmati hidup. Tetapi jika dorongan
dan keinginannya tidak terpenuhi baik karena kurangnya kemampuan untuk
memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang,
pengalaman-pengalaman emosionalnya kemungkinan akan mengalami gangguan.
Banyak respon individu diarahkan oleh penalaran dan
pertimbangan objektif, namun ada saat di dalam kehidupan dorongan-dorongan
emosional hampir sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Karena
itu untuk memahami remaja, bukan hanya perlu mengetahui apa yang ia kerjakan
dan pikirkan, tetapi hal yang lebih penting adalah mengetahui apa yang mereka
rasakan. Makin banyak usaha untuk memahami dunia remaja seperti apa yang
mereka alami, makin perlu dilihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami
perasaan-perasaan dirinya dan orang lain, kemarahan-kemarahan dan
ketakutan-ketakutan mereka, kebanggaan dan rasa malu, kecintaan dan kebencian,
harapan-harapan dan keputusasaan. Secara rinci, berbagai hal yang terkait
dengan emosi diuraikan berikut ini:
2.1.1
Pengertian
Emosi
Emosi
merupakan warna afektif yang terasa kuat, perasaan yang lebih mendalam dan
lebih terarah. Warna afektif itu sendiri adalah perasaan senang atau tidak
senang yang terlalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari.
Emosi
dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan antara keduanya tidak dapat
dinyatakan dengan tegas. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional
yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada
suatu saat suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga
dapat dikatakan sebagai emosi, contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk
diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi.
Dapat
disimpulkan bahwa emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi
perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa:
1. Reaksi
elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
2. Peradaran
darah: bertambah cepat bila marah
3. Denyut
jantung: bertambah cepat bila terkejut
4. Pernafasan:
bernapas panjang kalau kecewa
5. Pupil
mata membesar bila marah
6. Liur:
mongering kalau takut atau tegang
7. Bulu
roma: berdiri kalau takut
8. Pencernaan:
diare kalau tegang
9. Otot:
ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor)
10.
Komposisi darah:
komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan
kelenjar-kelenjar lebih aktif.
2.1.2
Karakteristik
Perkembangan Emosi Pada Remaja
Secara
tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa
dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun benar juga
jelas sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu kewaktu
sebagai konskuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan
harapan sosial baru. Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa
kana-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta atau kasih
sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih. Perbedaanya terletak
pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya, dan khususnya
pola pengendalian individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Berikut
akan dibahas tentang kondisi emosional seperti:
a. Cinta/Kasih
Sayang
Faktor
penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhannya mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan menerima cinta
sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Remaja
membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka
alami pada tahun-tahun sebelumnya. Tampaknya tidak ada manusia, termasuk
remaja, yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang
lain. Kebutuhan memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting. Para remaja
yang berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan
besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak
disadari.
b. Gembira
Pada
umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman menyenangkan
yang dialami selama remaja. Jika kita menghitung hal-hal yang menyenangkan
tersebut, kita akan mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang
terjadi dalam perkembangan emosional remaja. Dan rasa gembira itu akan dialami
apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik.
c. Kemarahan
dan Permusuhan
Rasa
marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan
peranan yang menonjol dalam perkembangan kepribadian. Pertama, diantara
emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai
adalah gejala emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah juga
penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam
tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Kondisi-kondisi
dasar yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada
beberapa perubahan sehubungan dengan pertumbuhan umurnya dan kondisi-kondisi
tertentu yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali
emosional. Banyaknya hambatan yang menyebabkan remaja kehilangan kendali
terhadap rasa marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja.
Tetapi rasa marah tersebut terus akan berkelanjut pemunculannya apabila
minat-minatnya, rencana-rencananya dan tindakan-tindakanya dirintangi.
d. Ketakutan
dan Kecemasan
Semua
remaja sedikit banyak takut terhadap waktu. Beberapa di antara mereka merasa
takut hanya pada kejadian-kejadian bila mereka dalam bahaya. Remaja seperti
halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi
ketakutan-ketakutan yang timbul dari persoalan-persoalan kehidupan. Tidak ada
seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah
terhadap rasa takut.
Biehler
(1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia
12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Ciri-ciri emosional
remaja berusia 12-15 tahun:
1. Pada
usia ini seorang anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
2. Siswa
mungkin berlaku kasar untuk menutupi
rasa percaya dirinya.
3. Ledakan-ledakan
kemarahan mungkin biasa terjadi.
4. Seorang
remaja tidak bisa toleran terhadap orang lain dan merasa selalu benar yang
disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
5. Siswa-siswi
di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif dan
mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap
sreba tahu.
Ciri-ciri emosional
remaja usia 15-18 tahun :
1. Pemberontakan.
2. Banyak
remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka karena bertambah
kebebasan mereka.
3. Pada
usia ini seorang remaja sering melamun, memikirkan masa depan mereka.
2.1.3
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Sejumlah
penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan sosial mereka
bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266). Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama
lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Kegiatan belajar turut menunjang
perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara
lain :
1. Belajar
dengan coba-coba.
Anak belajar secara coba-coba untuk
mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar
kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama
sekali tidak memberikan kepuasan.
2. Belajar
dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang
membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode
ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3. Belajar
dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
Disini anak hanya menirukan orang yang
dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4. Belajar
melalui pengkondisian
Pengkondisian terjadi dengan mudah dan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar,
kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal
betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan
pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi
kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa
remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang
bersifat individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti adanya
pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku
emosional.
Jika
kita ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara
terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang
disembunyikan. Jadi emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung atau
tertutup bagi yang disembunyikan, seperti contoh orang yang merasa ketakutan
tetapi menunjukkan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka
tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.
Remaja
diberi tahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukkan
perasan-perasaanya. Sebagai seorang anak ia tidak boleh menangis, sehingga
waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang menangis walaupun kondisinya
sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin menangis andai kata ada keberanian
untuk menunjukkan perasaan-perasaanya.
Sejak
ia kanak-kanak, para-remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka
juga diberi tahu untuk tadak penakut, untuk tidak menunjukkan
ketakutan-ketakutan mereka. Akhirnya seringkali mereka takut tetapi tidak
berani menunjukkanperasaan tersebut secra terang-terangan. Adalah hal yang
bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dalam kehidupan orang
dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan perasaan
yang disembunyikannya.
Semua
remaja pada masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada
seorangpun yang hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka tahu bahwa ada bahasa
yang menunjukkan kemarahan secara terbuka, dan kepada remaja diajarkan bahwa
tidak hanya sekadar menyembunyikan kemarahan mereka tetapi perlu takut terhadap
rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Demikian juga, kebanyakan remaja
telah mengalami bagaimana rasanya dicintai dan mencintai, tetapi banyak di
antara mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan
tersebut.
Kondisi-kondisi
kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan
perasaan-perasaanya. Mereka tidak hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya
terhadap orang lain, tetapi pada derajat tertentu bahkan ia dapat kehilangan
dan bahkan tidak merasakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya, bila ia meragukan
apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut, atau ia betul-betul
tidak tahu dengan apa yang dirasakannya. Kenyataanya bahwa para remaja
kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati
perasaan mereka.
Banyak
kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya
dengan orang lain yang membawa perubahan-perubahan untuk menyatakan
emosi-emosinya ketika ia merasa remaja.
Orang
tua dan guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini
tidaklah berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan anak muda. Ia
tetap membutuhkan perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan
pengalaman-pengalaman emosional.ia pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Dengan
bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekspresi
emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau
keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan
emosional ini.
2.1.4
Hubungan
Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Keadaan
emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk
mencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat/mengganggu
pencernaan.
Diantara
rangsangan yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung
adalah ketakutan-ketakutan yang kronis, kegembiraan yang berlebihan,
kecemasan-kecemasan, dan kekuatiran-kekuatiran. Semua ini menyebabkan
menurunnya kegiatan sistem pencernaan. Satu-satunya cara penyembuhan yang
efektif adalah menghilangkan penyebab dari ketegangan emosi.
Keadaan
emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan. Seseorang yang tidak mudah
terganggu emosinya cenderung mempunyai pencernaan yang baik. Gangguan emosi
juga menyebabkan kesulitan berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama
mungkin menyebabkan seseoarang gagap. Seorang gagap seringkali relatif dapat
normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang.
Sikap-sikap
takut, malu-malu atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi atau
frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau
situasi-situasi tertentu. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi
efektivitas belajar. Faktor-faktor
afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa
yang dipelajari. Seorang anak akan belajar lebih efektif apabila ia
termotivasi, motivasi untuk belajar akan membuat individu dalam memusatkan
perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan
memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk
belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak.
Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang tidak
menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa
belajar.
2.1.5
Perbedaan
Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun
pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam segi
frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga
saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah terlihat saat sebelum masa bayi
berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan
dengan bertambahnnya usia anak-anak.
Dengan
meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena
mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang
berlebihan, selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi
mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu
diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka
menjadi berbeda-beda. Perbedaan itu sebagaian disebabkan oleh keadaan fisik
anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi
disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional
dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Ditinjau
kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih
sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin
mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas,
dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan
marah lebih umum terdapat dikalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih
umum terdapat dikalangan kelurga kecil.
Cara
mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut,
sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangya
semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial
ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan
dengan mereka yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi.
2.1.6
Upaya
Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja
awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya
hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan
memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru
dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai
keberhasilan dalam tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih
tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan
mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri. Apabila ada
ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut
sekecil-kecilnya, misalnya dengan jalan kebijaksanaan atau kelembutan, mengubah
pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa juga tidak
reda, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Dalam
diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam
mengembangkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang
sangat ambisius, berpendirian keras yang mengintimidasi kelasnya sehingga tidak
ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya. Reaksi yang sering
kali terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan
orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Guru-guru di
SMA terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan dan
mengangkat kepermukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa.
Bertambahnya kebebasan dari remaja
sepertimenambah “bahan bakar terhadap api”, bila banyak dari keinginan-
keinginannya langsung dihambat oleh guru-guru dan orang tua. Satu cara
untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis
tentang perasaan-perasaan mereka yang negatif. Meskipun penting bagi guru
untuk memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi
remaja untuk belajar mengontrol dirinya, karena hidup di masyarakat
adalah juga menghargai keterbatasan-keterbatasan, kebebasan individual.
Untuk menunjukkan kematangan mereka, para remaja pertama laki-laki seringkali
merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagai seorang guru di
SMA, seseorang ada dalam posisi otoritas, dan karena itu mungkin gurulah yang
merupakan target dari pemberontakan dan rasa permusuhan mereka. Tampaknya
cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti mereka dan
kedua, melakukan segala sesuatu yang
dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil atau mempunyai prestasi
dalam bidang yang diajarkan. Satu cara untuk membuktikan kedewasaan
seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu. Jika guru menyadari sebagai
seorang yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut
pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan
sikap permusuhan dalam kelas dapat agak dikurangi. Remaja ada dalam keadaan
yang membingungkan dan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang
tua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada
pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya
sendiri. Namun ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa
yang mandiri, sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari.
Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang
selanjutnya memperluas atau memperbesar jurang antara dia dengan orang tuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut mungkin
merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia
pribadinya, kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk bersikap
seperti pendengar yang simpatik. Siswa sekolah menengah atas banyak memikirkan
hal-hal yang laindari pada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan
orang tua danapa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah,
semua ini mengisi pikiran-pikirannya. Salah satu persoalan yang paling
membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang
hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu “memimpikan kejayaan”.
Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia
mendorongsiswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan,
walaupunmungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini
malahmenambah kesengsaraan dalam hidupnya.
Barangkali penyelesaian
yang paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun
tetapmengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan
tujuan-tujuan pengganti mungkin merupakan cara untuk membuat ambisi-ambisinya
lebih realistik dan mudah mengatasinya apabila ada kegagalan. Kebanyakan para
siswa di sekolah menengah atas menginginkan menjadi pegawai negeri atau pegawai
kantor meskipun kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang mencapai tujuan
tersebut. Apabila ia menganggap remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti
bahwa anak-anak muda yang memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai
kebanggaan terhadap apa yang mereka kerjakan. Para guru hendaknya dapat
memberikan keyakinan kepada sisiwa bahwa semua pekerjaan adalah bermanfaat
apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab, hati-hati
serta terampil. Jadi terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan
untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan, dan menghilangkan
reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang
menjadikebiasaan yang tertanam kuat.
2.2
Perkembangan
Nilai, Moral dan Sikap
Dapatkah nilai-nilai hidup
dipelajari? Kalau dapat dipelajari sebagai satu ilmu sebagai pengetahuan,
apakah pengetahuan tentang nilai-nilai hidup itu dapat seketika membuat orang
mau dan mampu bertingkah laku sesuai dengan apa yangdiketahuinya? Antara
pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi
positif yang tinggi (Surakhmad,
1980). Proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan menuju bentuk sikap
dan tingkah laku aalah proses kejiwaan yang musykil. Seorang individu yang pada
waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyatamelakukannya tidak selalu
karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai
dengan norma-norma masyarakat.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah
satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku
tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Didalamnya tercakup juga
sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi, kecuali secara tidak langsung,
misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap
mental tersebut, bahkan secara tidak langsung pun ada kalanya cukup sulit
untuk menari kesimpulan yang teliti. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan
diuraikan pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral dan sikap serta
pengaruhnya terhadap tingkah laku.
2.2.1
Pengertian dan Keterkaitan antara
Nilai, Moral, dan Sikap serta Pengaruhnya terhadap Tingkah Laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988). Sopan santun, adat dan kebiasaan serta nilai-nilai
kehidupan yang lain, lahir tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar
manusia. Nilai-nilai lain misalnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya
sebagai warga Negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta
dengan sesama warga negara. Apakah ia seorang petani atau ahli ruang angkasa,
apakah ia pria atau wanita, apakah ia pemimpin dalam pemerintahan atau kah ia
warga negara biasa, apakah ia beragama Islam atau beragama lainnya. Sebagai
warga Negara Indonesia ia harus berpedoman pada nilai-nilai tersebut, demikian
halnya para remaja. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang
termasuk dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain:
a. Mengakui persamaan derajad,
persamaan hak dan persamaan kewajibanantar sesame manusia
b. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c. Tidak semena-mena terhadap orang
lain, berani membela kebenaran dankeadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tenggang baik
buruk, perbuatan dan kelakuan,akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957). Dalam moral
diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan
suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral
berkaitan dengankemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang
salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Dalam
kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol
dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang
dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup tenggang rasa, dalam
perilakunya seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain. Dia
dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah. Nilai-nilai kehidupan
sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan
buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini aliran Psikoanalisa tidak
membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarwono, 1991).
Semua konsep itu menurut Freud
menyatudalam konsepnya tentang super ego sendiri dalam teori Freud
merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku
egosehingga tidak bertentangan dengan masyarakat. Sedangkan menurut Gerungan (Mappiare, 1982) sikap secara umum
diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap hal. Sikap berkaitan
dengan motif dan mendasari tingkah laku seorang. Dapat diramalkan tingkah laku
apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan
(predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk beraksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap
objek tersebut. Dengan demikian keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkahlaku
akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain
nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong
oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut
dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang
dimaksud.
2.2.2
Karakteristik Nilai, Moral, dan
Sikap Remaja
Nilai-nilai kehidupan yang perlu
diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada
adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila, misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
peri kemanusiaan dan peri keadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik,
dan nilai-nilai intelektual, dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan
remaja. Sejauh mana remaja mengamalkan nilai-nilai yang telahmenginformasikan
atau dicontohkan kepada mereka. Untuk keperluan ini perlu ditinjau
perkembangan moral remaja. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai
remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan
kemudian bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial
atau masyarakat tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman
seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep
moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan
berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Michel meringkaskan lima perubahan
dasar dalam moral yang harusdilakukan oleh remaja (Hurlock, 1980) sebagai berikut:
a. Pandangan moral individu makin lama
makin menjadi lebih abstrak.
b. Keyakinan moral lebih terpusat pada
apa yang benar dan kurang pada apayang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan
moral yang dominan.
c. Penilaian moral menjadi
semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan
terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d. Penilaian moral menjadi kurang
egosentris.
e. Penilaian moral secara psikologis
menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi
dalam arti bahwa penilaianmoral merupakan bahan emosi dan menimbulkan
ketegangan emosi.
Menurut Furter (Monks, 1984), kehidupan moral merupakan problematik yang pokok
dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan
moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa
justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Kohlberg dalam penyelidikannya mengemukakan enam tahap
(stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam
urutantertentu.
Ada tiga tingkat perkembangan moral
menurut Kohlberg, yaitu tingkat pertama, prakonvensional, tingkat kedua,
konvensional; dan tingkatketiga, poscakonvensional. Masing-masing tingkat
terdiri dari dua tahap,sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang
berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang
mencapai tahapterakhir perkembangan moral.
a. Tingkat I:
PrakonvensionalPada stadium pertama
- Anak berorientasi kepada kepatuhan
dan hukuman.
- Anak menganggap baik atau buruk atas
dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yangtidak bisa diganggu gugat.
Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperolehhukuman.
- Pada stadium
kedua
berlaku prinsip relatisvik-hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara
mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atauditentukan oleh
orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa
segi. Jadi ada kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena
kelaparan. Karena perbuatan mencuri untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka
mencuri dianggap sebagai perbuatan mencuri itu sendiri diketahuisebagai
perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
b.
Tingkat II: Konvensional
- Stadium tiga, menyangkut orientasi mengenai anak
yang baik. Pada stadiumini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana
anak memperlihatkanorientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau
buruk oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah
perbuatan seseorang baik atautidak. Menjadi anak yang manis masih sangat
penting dalam stadium ini.
- Stadium empat, yaitu tahap menpertahankan
norma-norma social danotoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang
diperlihatkan seseorang bukan hanyaagar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapatikut mempertahankan aturan-aturan
atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk
ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
c. Tingkat III:
Pascakonvensial
- Stadium lima, merupakan tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinyadengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada
hubungan timbale balik antaradirinya dengan lingkungan sosial, dengan
masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosialkarena sebaliknya
lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
- Stadium enam, disebut prinsip universal. Pada
tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan
dan perjanjian antaraseseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif
yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini
berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang denngan orang lain. Dalam
hal ini unsur etik akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau
sebaliknya . Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan
tingkah sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai
selama masa remaja. Menurut Furter ( Monks
1984 ), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai
ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian melainkan juga dapat
menjalankannya atau mengamalkannya. Hal
ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginttenalisasikan penilaian-penilaian
moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya
penginternalisasikan nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dam tingkah
lakunya.
2.2.3
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai ,
Moral dan Sikap
Sama seperti perkembangan lainnya ,
maka perkembangan nilai, moraldan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah
hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui
identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Teori
perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral
bukan hasil sosialisai atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral
terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak ( Gunarsa , 1990 ).
Moral yang sifatnya penalaran
menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh peerkembangan nalar
sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaraan sesseorang
menurut tahap-tahap perkembangan piaget makin tinggi pula tingkat moral
seseorang .
2.2.4
Perbedaan
Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Pengertian moral dan nilai pada
anak-anak umur sepuluh tahun atau sebelas tahun berbeda dengan anak-anak yang
lebih tua. Pada anak-anak terdapatanggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan
mutlak, oleh karena itu diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa
diubah lagi ( Kohlberg, 1963 ).
Menurut Kohlberg faktor kebudayaan mempengaruhi perkembanganmoral, Terdapat
berbagai rangsangan yang diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo
perkembangan moral.
Bukan mengenai cepat atau lambatnya
tahap-tahap perkembangan dicapai, melainkan juga mengenai batastahap-tahap yang
dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
2.2.5
Upaya
Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai moral dan sikap tidak terjadi dengen
sendirinya, proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nili-nilai hidup
tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya difahami oleh para ahli ( Surakhmad, 1980). Tidak semua individu
mencapai tingkat perkembangan moral seperti yangdiharapkan, maka kita didhapkan
dengan masalah pembinaan,Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
pengembangan nilai , moral dan sikap remaja adalah :
a.
Menciptakan komunikasi
b.
Menciptakan iklim lingkungan yang serasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Afektif adalah Berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan danemosi seperti minat, sikap, apresiasi dan cara
penyesuaian diri. Kelakuanseseorang yang baik atau buruk.
b. Emosi adalah warna afektif yang kuat
dan ditandai oleh perubahan- perubahan tubuh. Jenis emosi yang secara
normal dialami antara laliln: cinta,gembira, marah, takut, cemas dan sedih.
c. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi emosi antara lain kematangan dankondisi-kondisi kehidupan atau
kultur.
d. Nilai-nilai kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakatatau prinsip-prinsip hidup yang
menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga negara. Sedangkan moral adalahajaran tentang baik buruk suatu
perbuatan dan kelakuan. Sikap adalahkesediaan bereaksi individu terhadap
sesuatu hal.
e. Tingkat perkembangan
pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja.Menjadi remaja berarti mengerti
nilai-nilai, yang tidak hanya memperoleh pengertian saja namun juga dapat
menjalankannya.
f. Upaya-upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan nilai, moraldan sikap remaja adalah menciptakan
komunikasi disamping member informasi dan remaja diberi kesempatan untuk
berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang
serasi/kondusif.
3.2 Saran
Menjadi seorang remaja dalam masa
pencarian jati diri tetap harus memahami konsep ranah afektif yang akan
mempengaruhi kehidupannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Sehingga
harapannya akan kehidupan yang lebih baik dan menjadi seorang yang peka
terhadap sosial dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, E.B.1990. Psikologi
Perkembangan. Alih Bahasa Isawidayanti dan
Soedijarwoe. Jakarta: Erlangga.
Sunarto, H. Hartono B. Agung.2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
Rineka Cipta.
Wikipedia. 2012.. Taksonomi
Bloom, (online)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom), diakses tanggal 07 September
2012
Wanda, Ila Rezki. 2012. Perkembangan
Sosio-Emosional Pada Remaja, (online)
(Ilarezkiwanda.blogspot.com),
diakses tanggal 07 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar