Laman

Jumat, 15 Juli 2016

Makalah Perkembangan Afektif/Sosio Emosional Pada Masa Kanak-Kanak (Perkembangan Peserta Didik)




PERKEMBANGAN AFEKTIF/SOSIO EMOSIONAL PADA MASA KANAK-KANAK


Bab 1
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang

Memahami perkembangan aspek afektif anak, merupakan salah satu cara untuk menghadapi anak. Afektif mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap anak yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman tentang perkembangan afektif setiap anak sangat penting. Setiap anak memiliki emosi yang berbeda, sehingga rangsangan yang diberikan juga harus berbeda. Reaksi emosional dapat berkembang menjadi kebiasaan, sehingga mempengaruhi sikap anak.

1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian afektif?
2.      Apa pengertian emosi?
3.      Apa pengertian dari perkembangan emosional?
4.      Bagaimana tahapan perkembangan emosional pada masa kanak-kanak?
5.      Apa akibat yang timbul apabila anak mendapatkan kasih sayang yang kurang?
6.      Bagaimana cara merangsang perkembangan emosi anak?
7.      Bagaimana perkembangan psikosial pada anak?
8.      Terdiri dari apa sajakah kebutuhan emosional anak?
9.      Bagaimana perubahan fisik yang terjadi saat anak sedang emosi?
1.3       Tujuan
1.      Mengetahui pengertian afektif
2.      Mengetahui pengertian emosi
3.      Mengetahui pengertian perkembangan emosional
4.      Mengetahui tahapan perkembangan emosional pada masa kanak-kanak
5.      Mengetahui akibat yang timbul apabila anak mendapatkan kasih sayang yang kurang
6.      Mengetahui cara merangsang perkembangan emosi anak
7.      Mengetahui perkembangan psikosial pada anak
8.      Mengetahui kebutuhan emosional anak
9.      Mengetahui perubahan fisik yang terjadi saat anak sedang emosi















Bab 2
Pembahasan
2.1 Pengertian Afektif
·         Afektif menurut kamus bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan.
·         Perbuatan atau perilaku yang disertai perasaan tertentu disebut warna afektif          kadang-kadang kuat, lemah atau tidak jelas.
·         Pengaruh dari warna afektif akan berakibat perasaan menjadi lebih mendalam. Perasaan ini disebut emosi (Sarlito,1982)
2.2 Pengertian Emosi
·         Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
·         Emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, akni kognitif (daya pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut sebagai aspek afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia.
2.3 Perkembangan Emosi Anak
Emosi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Setiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup lebih menyenangkan, karena anak emosilah akan merasakan getaran perasaan dalam dirinya dan orang lain.
Sejak bayi lahir, emosinya berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan orang tua mereka, dan juga dengan orang lain di lingkungan mereka. Bulan-bulan dan tahun-tahun pertama kehidupan anak adalah masa penting dan rentan dalam perkembangan emosional anak. Jika orang tua kurang menyadari pentingnya hubungan dan kualitas sikap mencintai selama ini, anak mungkin mengalami berbagai masalah dan gangguan emosi yang serius di masa depan. Sebaliknya, jika kebutuhan emosional anak terpenuhi secara seimbang di awal. Kehidupan, nanti ia akan berkembang menjadi individu yang bahagia dan diharapkan untuk mewujudkan potensinya secara optimal.
Salah satu penyebab emosi pada anak meliputi afektif, biasanya afektif secara awam juga disebut kasih sayang. Kasih sayang adalah perasaan kehangatan, rasa persahabatan dan simpati ditujukan pada orang lain. Biasanya anak-anak senang pada mereka yang juga menyukainya. Biasanya afektif juga ditujukan pada hewan atau benda. Hal ini terkadang terjadi sebagai pengganti kasih sayang terhadap orang lain. Ketika sebagian penting dalam pemenuhan kasih sayang kebutuhan adalah di masa kecil. Ketika kedua orang tua meninggal, kebutuhan afektif mungkin tidak terpenuhi. Kekurangan afektif juga terjadi, jika orang tua menolak anak.
Sebaliknya, anak-anak yang menolak orang tua mereka, apakah karena malu atau menganggap orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhannya, juga dapat mengakibatkan kurangnya kasih sayang.
Oleh karena itu, penolakan terhadap anak yang menyebabkan anak-orangtua hubungan menjadi tegang dan menghalangi orangtua untuk memberikan kasih sayang. Penelitian menunjukkan kurangnya kasih sayang pada masa bayi dan anak-anak bisa membahayakan perkembangan mereka. Biasanya bentuk gangguan tersebut berupa:
-          Perkembangan fisik yang terlambat
-          Keterlambatan perkembangan motorik, seperti duduk, berdiri dan berjalan
-          Gagap atau tuna wicara
-          Kesulitan berkonsentrasi dan mudah terganggu
-          Sulit untuk belajar bagaimana membangun hubungan dengan orang lain
-          Mereka sering tampil agresif dan nakal
-          Kurangnya minat pada orang lain, menarik diri, egois dan menuntut.
Kurangnya kasih sayang memang bisa mengganggu penyesuaian dan perkembangan sosial anak, tapi itu tidak berarti bahwa kasih sayang yang berlebihan akan menjadi individu yang lebih baik memiliki kasih sayang terlalu banyak akan kesulitan mengalalami dalam penyesuaian. Kasih sayang terlalu banyak dari orang tua juga memiliki efek lain, bahwa anak-anak cenderung berkonsentrasi kasih sayang pada satu atau dua orang. Ini berbahaya karena anak akan merasa tidak aman dan cemas ketika orang itu tidak ada.
Manusia dalam hidupnya selalu mengalami perkembangan baik secara psikis maupun fisik. Perkembangan dalam arti yang sesungguhnya adalah perkembangan secara psikis. Sedangkan perkembangan secara fisik sering disebut dengan pertumbuhan.
Ada beberapa tahapan perkembangan manusia yang terjadi di dalam hidupnya. Diantaranya adalah perkembangan pada masa anak. Masa anak adalah masa di mana manusia sedang menggali potensi yang ada pada dirinya untuk mencapai kematangan pada saat dewasa nanti. Perkembangan kognitif (intelektual) dan perkembangan afektif (emosional) pada anak dan remaja dipengaruhi oleh banyak faktor. Baik itu faktor personal maupun faktor sosio kultural.
Pada masa anak inilah manusia mengalami masa sekolah. Dalam dunia pendidikan perkembangan emosi anak harus selalu diperhatikan oleh setiap guru, sehingga diharapkan guru bisa menilai sejauh mana kematangan dari setiap siswa didiknya.
2.4 Tahapan Perkembangan Emosi Anak
Ada enam tahapan perkembangan emosi yang harus dilalui seorang anak. Pengalaman emosional yang sesuai pada tiap tahap merupakan dasar perkembangan kemampuan koginitif, sosial, emosional, bahasa, keterampilan dan konsep dirinya di kemudian hari. Tahapan tersebut saling berkesinambungan, tahapan yang lebih awal akan mempersiapkan tahapan selanjutnya. Anak-anak yang diasuh dengan kehangatan dan tidak mengalami gangguan perkembangan biasanya akan mencapai tahapan terakhir secara otomatis pada usia 4-5 tahun, namun anak-anak dengan kebutuhan khusus membutuhkan bantuan dari orang tua dan profesional untuk bisa mencapainya dengan lebih perlahan. Kapan / pada usia berapa tercapainya bukan merupakan hal yang penting bila dibandingkan bagaimana pencapaiannya.
Berdasarkan observasi cermat berkelanjutan, bisa diperkirakan pada taraf perkembangan emosi yang mana seorang anak berada. Kemampuan mana yang sudah dikuasainya dengan baik, mana yang membutuhkan penguatan dan mana yang sama sekali belum berkembang. Pengamatan dilakukan saat bermain, berinteraksi dan melakukan aktifitas sehari-hari.
Pengamatan dimasukkan dalam daftar ‘rating scale’ disertai umur pencapaiannya (untuk skor A). N-never (kemampuan tersebut tidak pernah tampak), S-sometimes (kemampuan tersebut kadang-kadang tampak), A-always (kemampuan tersebut selalu tampak) dan L-loses (kemampuan tersebut hilang saat stress: lapar, marah, lelah,dll). Enam tahapan perkembangan emosi anak adalah :
2.4.1 Regulasi Diri dan Minat terhadap Lingkungan
Kemampuan anak untuk mengolah rangsang dari lingkungan dan menenangkan diri. Bila anak masih belum mampu meregulasikan diri maka ia akan tenggelam dalam usaha mencari rangsang yang dibutuhkannya atau sebaliknya menghindari rangsang yang membuatnya tidak nyaman. Dengan demikian ia tidak bisa memperhatikan lingkungan secara lebih bermakna.
Kemampuan yang dimiliki:
1. Menunjukkan minat terhadap berbagai rangsang dalam lingkungan sedikitnya selama 3  detik
2. Bisa tenang dan terfokus pada sesuatu sedikitnya 2 menit
3. Pulih dari kondisi tidak menyenangkan dalam 20 menit dengan bantuan
4. Menunjukkan minat terhadap pengasuh, tidak hanya terhadap benda

2.4.2 Keakraban-Keintiman
Kemampuan anak untuk terlibat dalam suatu relasi yang hangat, akrab, menyenangkan dan penuh cinta. Pengasuh merupakan hal terpenting dalam dunianya. Kemampuan yang dimiliki:
  1. Menunjukkan respon terhadap tawaran pengasuh (dengan senyum, kerenyit, vokalisasi, meraih dan tingkah laku bertujuan yang lain)
  2. Menunjukkan respon terhadap tawaran pengasuh dengan rasa senang yang nyata
  3. Menunjukkan respon terhadap tawaran pengasuh dengan rasa ingin tahu dan minat asertif (misalnya dengan mengamati wajah)
  4. Bisa mengantisipasi bahwa benda yang ada jadi hilang dari pandangannya (misalnya dengan tersenyum atau berceloteh untuk menunjukkan minat)
  5. Menunjukkan rasa tidak suka bila didiamkan/tidak direspon selama sedikitnya 30 detik saat bermain
  6. Memprotes dan mulai marah saat frustrasi
  7. Pulih dari kondisi tidak menyenangkan dalam 15 menit dengan bantuan
2.4.3 Komunikasi Dua Arah
Kemampuan anak untuk terlibat dalam komunikasi dua arah, menutup siklus komunikasi (aksi-reaksi). Komunikasi di sini tidak harus verbal, yang penting ia bisa mengkomunikasikan intensi/tujuannya dan kemudian mengenal konsep sebabakibat (berpikir logis) dan konsep diri. la mulai menyadari bahwa tingkah lakunya berdampak terhadap lingkungan. Sehingga mulai muncul keinginan untuk aktif memilih/ menentukan pilihan dan berinisiatif
Kemampuan yang dimiliki:
  1. Menunjukkan respon terhadap gestures pengasuh dengan gestures bertujuan (misalnya meraih ingin digendong bila tangan kita terentang, menatap atau berceloteh bila diajak bicara)
  2. Memulai interaksi dengan pengasuh (misalnya memegang hidung/rambut anda, mengulurkan tangan ingin digendong)
  3. Menunjukkan emosi akrab/kedekatan (balas memeluk, meraih ingin digendong bila tangan terentang), kegembiraan dan kegairahan (tersenyum senang saat mengambil mainan dari mulut anda dan memasukkannya ke mulutnya sendiri), rasa ingin tahu yang asertif (menyentuh dan mengelus rambut anda), protes dan marah (mendorong
    makanan di atas meja sampai jatuh, menjerit bila mainan yang diinginkan tidak diberikan) , takut (membalik/menjauh, tampak ketakutan, menangis bila orang tak dikenal mendekatinya terlalu tiba-tiba)
  4. Pulih dari rasa tidak senang dalam 10 menit dengan terlibat dalam interaksi sosial
2.4.4 Komunikasi Kompleks
Kemampuan anak untuk menciptakan komunikasi kompleks (sekitar 10 siklus), mengekspresikan keinginan dan emosi secara lebih berwarna, kompleks dan kreatif. Mulai menyertakan keinginannya dalam bermain, tidak hanya mengikuti perintah atau petunjuk pengasuh/orang tua. Selanjutnya hal ini akan menjadi dasar terbentuknya konsep diri dan kepribadian. la mampu memahami pola karakter dan tingkah laku orang lain sehingga mulai memahami apakah tingkah lakunya disetujui atau tidak, akan dipuji atau diejek, dll sehingga mulai berkembang kemampuan memprediksi kejadian dan kemudian mengarah pada kemampuan memecahkan masalah berdasarkan keurutan logis.
Kemampuan yang dimiliki:
  1. Menutup sedikitnya 10 siklus komunikasi secara berkelanjutan (misalnya memegang tangan anda. menuntun ke lemari es, menunjuk, berceloteh, berespon terhadap pertanyaan anda dengan celoteh dan gestures, meneruskan pertukaran gestural sampai anda membuka pintu lemari es dan mengambil apa yang diinginkannya)
  2. Menirukan tingkah laku pengasuh dengan bertujuan (misalnya memakai topi ayah dan berjalan berkeliling menunggu pujian)
  3. Menutup sedikitnya 10 siklus dengan vokalisasi atau kata, ekspresi wajah, saling menyentuh/memeluk, bergerak dalam ruang, aktifitas motorik (kejarkejaran) dan komunikasi dengan jarak yang jauh (di ruangan yang luas ada jarak antara dirinya dan pengasuh)
  4. Menutup sedikitnya 3 siklus berkelanjutan saat merasakan emosi:
Keakraban/kedekatan (menunjukkan ekspresi wajah, gestures dan vokalisasi saat mendekat ingin dipeluk, dicium, atau menirukan bicara di telpon mainannya saat anda menerima telpon sungguhan)
Kegembiraan dan kegairahan (menunjukkan vokalisasi dan tatapan untuk mengundang seseorang berbagi kegairahan mengenai sesuatu yang menarik, berbagi guyonan dengan anak lain atau orang dewasa dengan tertawa bersama),
Rasa ingin tahu yang asertif (bereksplorasi sendiri, menggunakan kemampuan komunikasi jarak jauh untuk merasakan kedekatan dengan anda saat ia bermain atau bereksplorasi sendirian),takut (menyatakan minta dilindungi dengan berkata ‘nggak’ sambil lari ke belakang anda),marah (memukul, berteriak, membanting atau tiduran di lantai, atau memandang dengan tatapan marah dan dingin),pembatasan (mengerti dan berespon positif terhadap‘tidak, berhenti!’ atau peringatan dengan jari atau ekspresi marah).
2.4.5 Ide Emosional
Kemampuan anak untuk menciptakan ide, mengenal simbol, termasuk bahasa yang melibatkan emosi. Kemampuan menciptakan ide awalnya berkembang melalui permainan pura-pura yang memberikan kesempatan bereksperimen dengan perasaan, keinginan dan harapan. Kemudian ia mulai memberi nama pada benda-benda sekeliling yang berarti, disini ia mulai mengerti penggunaan simbol benda konkrit. Kemudian simbol menjadi semakin meluas pada aktifitas. dan emosi dan ia belajar kemampuan memanipulasi ide untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Kemampuan yang dimiliki:
  1. Bermain pura-pura dengan sedikitnya 2 ide yang bisa saja belum terkait (mobil tabrakan, memuat batu di mobil itu, memeluk boneka kemudian pura-pura minum teh)
  2. Menggunakan kata-kata, gambar, gestures untuk mengungkapkan sedikitnya 2 ide sekaligus, tidlak harus berhubungan (’nggak bobok, main’)
  3. Mengkomunikasikan keinginan, intensi dan perasaannya dengan katakata, beberapa gestures sekaligus, sentuhan (pelukan)
  4. Bermain permainan motorik dengan aturan yang sederhana (bergiliran melempar bola)
  5. Menggunakan bermain pura-pura untuk mengkomunikasikan emosi yang tidak boleh dimakannya).berikut dalam sedikitnya 2 ide:
keakraban/kedekatan (boneka berkata,”peluk aku”, dijawabnya “aku cium kamu”), kegembiraan dan kegairahan (mengucapkan kata-kata lucu dan tertawa),rasa ingin tahu yang asertif (pura-pura menerbangkan pesawat berkeliling ruangan dan mengatakan akan terbang ke bulan), takut (boneka takut suara bising dan memanggil ibunya).
2.4.6 Berpikir Emosional
Kemampuan anak untuk menciptakan kaitan antar berbagai ide sehingga mampu berpikir secara logis dan sesuai dengan realitas. Mampu mengekspresikan berbagai emosi dalam bermain, memprediksi perasaan dan akiba’ dari suatu aktifitas, mengenal konsep ruang, waktu serta bisa memecahkan masalah secara verbal dan memiliki pendapatnya sendiri. Bila anak bisa mencapai kemampuan ini maka ia akan siap belajar berpikir abstrak dan mempolajari strategi berpikir.
Kemampuan yang dimiliki:
  1. Bermain pura-pura dengan mengkaitkan sedikitnya 2 ide secara logis, walau
    kadang-kadang ide itu sendiri tidak realistik (misalnya dengan mobil berkunjung ke bulan, dengan cara terbang cepat sekali)
  2. Mengembangkan ide bermain pura-pura orang dewasa (misalnya anak memasak sup, ditanya apa yang dimasak, dijawabnya “batu-batu dan ranting-ranting”)
  3. Berbicara dengan ide-ide yang saling terkait secara logis dan realistik (”nggak mau tidur, mau nonton tv”)
  4. Menutup sedikitnya 2 siklus konunikasi verbal (”mau pergi ke luar” ditanya kenapa, dijawabnya “mau main”)
  5. Berkomunikasi secara logis, mengaitkan sedikitnya 2 ide mengenai intensi, keinginan, kebutuhan, perasaan dengan kata-kata, beberapa gestures (pura-pura jadi anjing yang marah) dan sentuhan (sering memeluk sebagai bagian dari drama ketika anak menjadi ayah)
  6. Bermain motorik dan spasial dengan aturan (bergantian meluncur)
  7. Menggunakan permainan pura-pura atau kata-kata untuk mengkomunikasikan sedikitnya 2 ide yang terkait secara logis mengenai emosi :
kedekatan (boneka terluka, ibu mengobati), kegembiraan dan kegairahan (mengatakan istilah ‘kamarmandi’ lalu tertawa), rasa ingin tahu yang asertif ( tentara yang baikditugaskan mencari putri yang hilang), takut (monster menakut-nakuti anak kecil), marah (tentara yang baik melawan yang jahat), pembatasan (tentara hanya boleh memukul orang jahat karena peraturan)
2.5 Pedoman Umum untuk Merangsang Perkembangan Emosi Anak
  1. Tenangkan anak, terutama saat ia marah atau tidak senang, dengan memeluk hangat, lembut tetapi erat, intonasi yang ritmis dan kontak mata yang hangat. Jangan tegang atau kuatir karena hal tersebut akan dirasakan oiehnya dan semakin membuatnya tidak tenang.
  2. Cari cara interaksi yang bisa memancing keterlibatan; ekspresi wajah, bunyi, sentuhan, dll. Perhatikan profil sensoriknya.
  3. Cari berbagai pendekatan, eksplorasilah bersama-sama sampai menemukan cara mana yang paling disukainya.
  4. ‘Bacalah’ dan berespon terhadap sinyal emosi anak, ada saat ia membutuhkan kedekatan namun ada juga saat ia ingin menjadi lebih asertif dan mandiri. Ikuti apa yang diinginkannya, jangan memaksakan ‘agenda’ kita.
  5. Tunjukkan kegembiraan, antusiasme dan gairah dalam berinteraksi
  6. Doronglah anak untuk melangkah ke tahap perkembangan berikutnya;
    mengambil inisiatif, memecahkan masalah, bermain pura-pura, membahasakan emosi, menghadapi realitas dan bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya (konsekuen)
  7. Jangan terlalu/kurang menstimulasi dan memancing interaksi
  8. Jangan terlalu mengontrolnya, ikuti pola dan keinginan anak
  9. Jangan terlalu konkrit dalam bermain padahal ia sudah beralih ke tahap yang lebih abstrak, ikuti pola berpikir dan imajinasinya.
  10. Jangan menghindari area emosi yang tidak disukainya, supaya anak belajar juga menghadapinya
  11. Jangan mundur bila anak bereaksi emosi keras, tetaplah pada tujuan (konsisten) tetapi tenangkan dia
2.6 Perkembangan Psikosial pada masa kanak-kanak
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku.
Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Idetntifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
a. Perkembangan Pemahaman Diri
Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.
b. Perkembangan Hubungan dengan Keluarga
Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial.
c. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.
2.7 Cara Memantau Perkembangan Emosi Anak
            Untuk memahami tingkat kematangan afektif anak, orang tua dan guru dapat memanfaatkan pengetahuan tentang enam tahapan perkembangan afekif yang seharusnya dilalui oleh setiap anak yang normal. Pada tiap tahap pengalaman emosional yang sesuai merupakan dasar bagi berbagai kemampuan anak meliputi kemampuan emosional, sosial kognitktu yang lebih aif, ketrampilan, bahasa serta konsep dirinya di masa depan. Harus diingat baha tahapan-tahapan tersebut berlangsung secara berkesinambungan.
            Gangguan perkembangan biasanya tidak terjadi apabila anak-anak berada dalam pengasuhan yang hangat. Keenam tahapanbiasanya berakhir secara normal pada saat seorang anak berusia 4-5 tahun namun mereka yang berkebutuhan khusus akan memerlukan waktu yang lebih lama. Namun demikian dibandingkan bagaimana kualitas pencapaiannya waktu atau pada umur berapa tercapainya tidak lebih penting.
            Adalah tugas orang tua dan guru untuk mengenali kemamuan emosi apa saja yang telah dimiliki oleh anak asuhnya dan mana yang belum atau membutuhkan penguatan. Idealnya hasil pengamatan ditampilkan dalam daftar rating scale dengan skor pencapaian dan umur. Singkatnya menurut berbagai pengamatan psikologis, cara memantau perkembangan emosi anak secara sederhana adalah dengan memperhatikan sang anak pada saat berinteraksi, bermain dan beraktivitas lalu memperkirakan tahapan yang telah dilalui karena tahapan-tahapan itu berkesinambungan.
2.8 Perubahan-Perubahan Fisik yang Terjadi Saat Anak Sedang Emosi
·         Reaksi elektris pada kulit        : meningkat bila terpesona
·         Peredaran darah                      : bertambah cepat bila terkejut
·         Denyut Jantung                       : bertambah cepat kalau kecewa
·         Pernapasan                              : bernapas panjang kalau kecewa
·         Pupil mata                               : membesar kalu marah
·         Liur                                         : mengering kalau takut dan tegang
·         Bulu Roma                              : berdiri kalau takut
·         Pencernaan                              : buang-buang air kalau tegang
·         Otot                                         : ketegangan dan ketakutan menyebabkan    
  otot menegang atau bergetar.

·         Komposisi darah                     : komposisi darah akan ikut berubah karena
emosional yang menyebabkan kelenjar-    kelenjar lebih aktif.
2.9 Peranan Emosi Terhadap Anak
Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Woolfson, 2005:8 menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, yaitu :
a) Dicintai
b) Dihargai
c) Merasa aman
d) Merasa kompeten
e) Mengoptimalkan kompetensi
Anak mengkomunikasikan emosi melalui verbal, gerakan dan bahasa tubuh. Bahasa tubuh ini perlu kita cermati karena bersifat spontan dan seringkali dilakukan tanpa sadar. Dengan memahami bahasa tubuh inilah kita dapat memahami pikiran, ide, tingkah laku serta perasaan anak. Bahasa tubuh yang dapat diamati antara lain :
a) Ekspresi wajah
b) Napas
c) Ruang gerak
d) Pergerakan tangan dan lengan
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi (Saarni, Mumme, dan Campos, 1998 dalam De Hart, 1992:348). Pada usia 6 tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan, kebanggaan, kesedihan dan kehilangan (De Hart, 1992:348), tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam menafsirkan emosi orang lain (Friend and Davis, 1993). Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang mencakup :
·         Kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emocional
·         Menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh pengalaman emosional
Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan anak dalam mentoleransi frustasi.
Salah satu aspek yang penting dalam pengaturan emosional adalah kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang merupakan upaya anak untuk menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku menjadi tidak terorganisir. Kemampuan ini muncul mulai usia 2 tahun dan berkembang pesat selama masa prasekolah (Brigdes dan Grolnick JK, 1995, Eisenberg, dkk, 1994, Van Lieshout, 1975). Ketika menemui situasi yang menimbulkan frustasi, misalnya alat-alat permainan menarik yang tidak dapat dijangkau, anak-anak usia prasekolah yang lebih tua tampak tidak terlalu marah dibandingkan anak-anak yang lebih muda. Mereka tampak masih fokus pada masalah dibandingkan rasa frustasinya dan mereka membuat respon konstruktif misalnya mencari bantuan. Dalam perkembangan emosi, anak mengalami perkembangan dalam resiliensi. Riset menunjukkan bahwa resiliensi bukan bawaan dari lahir. Ini lebih merupakan kapasitas untuk mengembangkan lingkungan yang suportif (Masten, 2001 dalam DeHart, 2004 : 363). Beberapa anak dapat melakukan coping lebih baik terhadap stres, tetapi hal ini cenderung berkaitan dengan sejarah perlekatan yang aman dan dukungan orangtua (Pianta, Egeland and Sroufe, 1990 dalam DeHart, 2004:363).
Kapasitas yang baru muncul ini berpengaruh terhadap hubungan dengan orang tua. Menolak permintaan orang tua dan tanggapan-tanggapan pasif terhadap permintaan orang tua menurun pada usia 2 dan 5 tahun (Kuczzynskl dan Kochanska, 1990). Anak-anak tampak meningkat kemampuannya dalam mentoleransi frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga mulai belajar bagaimana menegosiasikan konflik tersebut (Klimes-Dougan dan Kopp, 1999).
Salah satu bentuk untuk mentoleransi frustasi adalah menunda gratifikasi atau pemebuhan keinginan, misalnya permen, meskipun ada keinginan. Dengan adanya dukungan dari orang dewasa anak-anak usia prasekolah dapat mengurangi frustasinya dalam menunda gratifikasi ini. Hal ini sebenarnya tidak mudah untuk mereka, tetapi sebagian besar anak mampu melakukan. Kemampuan ini akan berkembang pada usia kanak-kanak pertengahan hingga pada saat anak mampu melakukannya tanpa adanya bantuan dari orang dewasa (Mischel, Shoda, dan Rodriguez, 1989).
Para peneliti masih belum yakin mengapa toleransi terhadap frustasi dapat berkembang dengan pesat selama masa prasekolah. Anak-anak kemungkinan tampak mampu menekan perasaannya pada satu level tertentu sehingga mereka terlihat tidak begitu marah (Maccoby, 1980). Pada saat yang bersamaan, anak-anak juga belajar mengenai strategi untuk membantu mereka membatasi tekanan yang menyebabkan frustasi.
Kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak tidak mampu menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi disebut ego-resiliensi, karena ego menunjukkan kapasitasnya untuk fleksibel dan mampu mengontrol ekspresi impulsif dan perasaan (Block dan Block, 1980). Seperti pada anak-anak lain yang memiliki ego resiliensi, maka dapat menjadi anak yang ekpresif , spontan pada beberapa situasi tetapi dia juga mampu menahan diri dan berperilaku disiplin pada keadaan lainnya (Sroufe, 1995 dalam DeHart, 2004:363).
Oleh karena itulah, sangat penting bagi orang dewasa, terutama yang dalam kesehariannya dekat dengan anak, diantaranya pamong PAUD dan para pemerhati anak untuk selalu berupaya membangun kapasitas emosional anak sehingga tidak akan menjadi hambatan kelak ketika anak dewasa. Kapasitas emosional ini merupakan dasar bagi penyesuaian dalam kehidupan anak selanjutnya.
















Bab 3
Penutup
3.1.   Kesimpulan
Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Perkembangan emosional yang terjadi pada masa kanak-kanak terjadi dalam beberapa tahapan diantaranya yaitu : Regulasi diri dan minat terhadap lingkungan, keakraban-keintiman, komunikasi 2 arah, komunikasi kompleks, ide emosional, dan berpikir emosional. Dalam menghadapi emosional anak, para orang dewasa harus selalu berupaya membangun kapasitas emosional anak sehingga tidak akan menjadi hambatan kelak ketika anak dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar